Selasa, 16 Juni 2009

Pers Memihak kepada Capres?
Oleh: Kun Wazis*)

Sebagai media penyampai informasi kepada publik, pers memiliki peran penting. Sebab, pers saat ini sudah menjadi alat komunikasi yang efektif untuk mempengaruhi massa. Sehingga, sedikit atau banyak, keinginan masyarakat bisa dibentuk dari sikap media dalam memberitakan persitiwa.

Untuk itu, dalam pemilihan presiden 8 Juli 2009 ini, pers harus bisa menempatkan dirinya sebagai alat penyampai informasi yang bijak kepada masyarakat. Sehingga, diharapkan, publik akan berindak arif dalam menyikapi perbedaan pilihan. Pers tidak terseret dalam kepentingan politik para kandidat dengan tetap meneguhkan netralitasnya dalam pesta demokrasi itu.
Disamping itu, untuk memenuhi amanat UU Pers No 40, maka juga harus bisa memberikan pendidikan politik yang “ideal” agar masyarakat semakin cerdas dalam menentukan pilihan politiknya. Pers juga harus memberikan contoh bagaimana kontrol sosial harus ditegakkan. Praktek-praktek yang tidak benar dalam kampanye juga harus diungkap agar para tim sukses juga tidak semena-semena dalam berjuang meraih suara di ranah kepentingan politik.
Demikian juga, peras harus memberikan hiburan politik yang segar kepada masyarakat. Sebagai fungsi pers yang menyuguhkan sajian menghibur, maka kritik terhadap figur politisi maupun capres bisa diungkapkan dalam ulasan-ulasan menyegarkan, namun sarat dengan kritik politik. Money politik, intrik politik yang kotor, maupun penodaan pelanggaran pilpres harus dikritik secara proporsional.
Pertarungan politik antara Mega-Prabowo (nomer urut satu), SBY-Boediono (nomer urut dua), dan JK-Win (nomer urut tiga) tentu tidak terelakkan lagi. Fenomena perang opini melalui statemen politik sudah berkali-kali disaksikan oleh publik melalui liputan pers. Sehingga, konflik politik pun sudah terjadi disaat perang urat syarat antar capres-cawapres itu mengemuka di permukaan, termasuk di sejumlah blow up media massa.
Dalam pilpres langsung ini secara serentak untuk kali kedua ini, akan kembali mencatat sejumlah persoalan dan kekurangan dalam penyelenggaraannya. Salah satu buktinya, rekrutmen anggota KPU Jember beberapa waktu lalu, menyisakan sejumlah persoalan publik akibat proses yang tidak bisa diikuti oleh masyarakat secara tranparan dan prosedur yang jelas.
Dalam kondisi seperti ini, maka akan sulit dielakkan, konflik mudah terjadi mengingat pilpres langsung menyentuh kehidupan masyarakat. Seperti diberitakan di sejumlah media, di beberapa wilayah telah muncul konflik terkait dengan proses politik para kandidat itu.
Untuk itu, komunitas pers harus berdiri pada garis yang lurus (head line) agar bisa mengugkapkan fakta dalam setiap proses pilpres itu dengan jujur, adil, dan damai. Caranya, hanya dengan menyebarkan informasi dan menghasilkan karya jurnalistik yang selalu berpegang pada prinsip jurnalisme yang profesional dan beretika. Karena hanya bersandar pada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik itu, maka pers akan tetap menempatkan diri pada “altar” martabat yang tepat.
Mengapa demikian? Sebab, Pers pasti menjadi salah satu media kampanye dan ajang pertarungan “hebat” para kandidat untuk mempengaruhi dan merebut simpati pemilih. Oleh karena itu, pers harus memainkan peran sebagai sarana pendidikan politik yang baik. Pers harus menjaga independensi dan sikap kritis, tidak terjebak menjadi alat kampanye pihak-pihak yang berkompetisi, apalagi menjadi sarana kampanye negatif.
Pers patut memilah dan memilih informasi maupun materi kampanye dengan orientasi membangun proses politik yang bermartabat, aman, dan tertib, dengan mengedepankan prinsip jurnalisme damai.
Untuk menjawab tuntutan itu, maka wartawan dituntut untuk selalu bersikap adil, seimbang, dan independen. Oleh karena itu, bagi wartawan yang tercatat mencalonkan diri dalam pilpres atau menjadi tim sukses harus menegaskan posisinya dan menyatakan mengundurkan diri atau non-aktif sebagai wartawan.
Hal ini untuk menghindari adanya perbenturan kepentingan (conflict of interest) dan pelanggaran prinsip etika jurnalisme. Prinsip ini juga berlaku bagi wartawan yang, secara individu maupun kelompok, menjadi “tim sukses” kandidat presiden maupun wakil presiden. Prinsip ini, diperlakukan sama dalam menyikapi proses pemilihan kepala daerah (Pilkada), baik setingkat pemilihan gubernur dan wakil gubernur, maupun bupati dan wakil bupati.
Dalam posisi media melakukan fungsinya itu, maka masyarakat juga harus aktif memantau kinerja media dalam peliputan pilpres itu. Jika masyarakat melihat terjadinya bias pers, pemberitaan media yang memihak secara terang-terangan, atau penyalahgunaan profesi wartawan, maka masyarakat jangan ragu untuk mengingatkan media bersangkutan, atau mengadu ke dewan pers maupun Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

*) Kun Wazis, Wartawan Radar Jember dan Pemerhati Pers Jember