Selasa, 11 Agustus 2009

Fajar Baru dari Sang Guru Besar

Prof Dr Moh Khusnuridlo, MPd; Guru Besar STAIN Jember
Terapkan Home Schooling Ala Orang Tua, Tetap Kritisi Dunia Pendidikan

Senin Kliwon, 10 Agutus 2009 menjadi hari bersejarah bagi Prof Dr Moh Khusnuridlo, MPd. Pria kelahiran Ponorogo 21 Juli 1965 ini dikukuhkan oleh Senat Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jember sebagai guru besar. Ternyata, meraih guru besar hanya butuh satu syarat saja. Apa itu?

Kemenangan harus direncanakan. Target yang dicapai harus dilalui dengan tahapan yang terukur. Jika semua diikhtiarkan maksimal, maka hasil yang diingankan bisa dicapai dengan mengesankan.
Inilah sebagian dari filosofi hidup Prof Dr Khusnuridlo, MPd dalam menapaki kehidupannya. Ternyata, kehidupan memberikan inspirasi besar bagi otak manusia untuk mendesain masa depan yang harus diraih. “Allah memberikan kekuatan otak untuk memikirkan secara baik-baik target dan cita-cita yang harus diraih secara baik pula,” ujar Ketua STAIN Jember dua periode ini.
Untuk itu, beragam problem kehidupan manusia adalah sebuah “madrasah” untuk belajar. Demikian juga, ketika meraih guru besar itu, sesungguhnya Khusnuridlo sedang menapaki proses kehidupan selanjutnya harus seperti apa. “Ternyata, ada tahapan yang bisa diukur disaat kita berhasil menyelesaikan satu kesuksesan,” kata suami dari Dr Siti Rodliyah, MPd ini.
Maka, ketika meraih sukses di puncak karier akademik berupa gelar professor, Khusnuridlo teringat dengan serangkaian desain orang tuanya (H Abdul Rahman dan Hj Mahmudah Hilal) agar dia mampu menangkap pesan-pesan agama dengan baik. Pendidikan adalah sumber kekuatan untuk meraih derajat kemuliaan.
“Saya teringat bagaimana orang tua mengajarkan agama kepada saya. Jauh sebelum Kak Seto (pakar pendidikan anak, Red) menelurkan gagasan Home Schooling, orang tua saya sudah mengajarkan sejak dulu. Orang tua saya tidak mau mengajarkan agama dari langgar, tapi sejak awal ditanam dari rumah. Maka, rumah menjadi sekolah hidup yang sangat memadai bagi pertumbuhan anak,” kata penulis sejumlah buku manajemen pendidikan ini.
Untuk itu, perjalanan masa kecil hingga sekarang ini adalah sebuah proses panjang yang tidak akan berakhir hanya setelah menjadi guru besar saja. Sebab, Khusnuridlo paham benar kalau kesuksesan harus diraih dari bawah dan tidak instant. Ada tangga yang harus dikuatkan saat akan melanggah ke tangga berikutnya.
Setidaknya, Khusnuridlo teringat benar kalau dia harus mengawali karirnya dari kecil, tidak langsung besar. Alumni MI Bustanul Ulum Ponorogo ini mengawali karirnya sebagai Kepala Unit Pengembangan Bahasa (UPB) STAIN 1998-1999. Selanjutnya, Prof Dr Khusnuridlo, MPd menduduki berbagai jabatan strategis di kampus Jl Jumat Mangli itu. Alumni IAIN Sunan Ampel Malang ini dua periode memimpin kampus STAIN Jember (2004-2008 dan 2008-2012). “Kami bersyukur karena bisa meraih guru besar,” ujarnya.
Sekretaris Lembaga Pengembangan Manajemen dan Profesi Kependidikan (LPMPK) ini juga pernah menjadi anggota tim Penyusun Materi Pendidikan dan Pelatihan bagi kepala Sekolah Dit PMPTK Ditjen Dikdasmen Depdiknas. Disela-sela kesibukannya, dia juga menjadi dosen PPS Unsuri Ponorogo dan fungsionaris Dewan Pendidikan Kabupaten Jember. Bahkan, karya-karyanyapun bisa dinikamti oleh masyarakat Indonesia melalui sejumlah buku yang diterbitkan. Diantaranya, Manajemen Pondok Pesantren, Kinerja Profesional Guru, dan Manajemen Pendidikan.
Salah satu tekad besar yang akan dilaksanakan STAIN di bawah kepemimpinannya adalah menaikkan status STAIN Jember menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Tekad ini pula yang mendorong Khusnuridlo berjuang meraih yang terbaik dalam dunia pendidikan. “Pengabdian kepada dunia pendidikan tidak boleh berhenti. Meraih guru besar adalah bagian dari ikhtiar dalam upaya meningkatkan kualitas diri untuk peningkatan kualitas kampus STAIN Jember kedepan,” ujar alumni Pasca Sarjana IKIP Malang ini.
Untuk itu, raihan guru besar bidang Manajemen Pendidikan yang dikeluarkan melalui Keputusan Mendiknas RI Keputusan Mendiknas RI No 50188/A4.5/KP/2009 per 1 Maret 2009 itu menjadi salah satu bukti konsistennya seorang Khusnuridlo dengan bidang yang digelutinya. Angka kredit yang mencapai 985 kum yang diraih sebagai syarat guru besar juga semakin menyakinkan bahwa perjalanan karirnya adalah dimulai dengan manajemen yang memadai. “Sebab, salah satu kelemahan dari dunia pendidikan kita diakibatkan oleh minimnya transformasi manajemen pendidikan yang baik,” kata Ketua Lakpesdam PNU Jember ini.
Tekad itu adalah mendesain tiga jurusan yang dipimpinnya memiliki dayang saing tinggi di dunia luar. Diantaranya Jurusan Syariah, Jurusan Tarbiyah, dan Jurusan Dakwah. Selain terus melengkapi fasilitas di berbagai jurusan, program beasiswa terus menjadi prioritas untuk meningkatkan jumlah mahasiswa di kampus tersebut. “Sebab, masih anak bangsa ini yang cerdas, tapi mereka berada dalam kehidupan yang masih harus dibantu,” ujar Ketua Majelis Dzikir SBY Nurussalam Jember ini.
Wajarlah kalau kemudian Pak Nur---panggilan akrabnya---memberikan catatan-catatan penting terkait reformasi pendidikan yang sudah berjalan satu dekade ini. Dalam pandangan bapak dua putra ini, perjalanan reformasi masih menghadapi problem substansial yang menuntut pemecahan bersama. Hal ini diawali dengan reorientasi paradigmatik dari sentralisasi ke desentralisasi dan restrukturisasi birokrasi. ”Reformasi kita belum secara tuntas menggapai good governance, yakni sebuah terminal menuju masyarakat madani,” ujar anggota Ikatan Sarjana Manajemen Pendidikan Indonesia (ISMAPI) ini.
Dalam konteks inilah, dunia pendidikan di Indonesia diikhtiarkan secara sungguh-sungguh oleh pemerintah menuju mutu yang lebih baik, namun masih belum steril dari krisis. ”Cukuplah menjadi bukti, telah banyak direlease kebijakan afirmatif tentang pendidikan terkait dengan ketersedian SDM, tata-kelola, sarana prasarana, dan finansial,” tegas mantan Ketua PMII Komisariat Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang ini.
Menurut dia, fenomena kebijakan afirmatif itu menimbulkan beragam respons pro kontra di masyarakat. Berbagai tengara ini, kata dia, sesungguhnya menguatkan bahwa reformasi dunia pendidikan belum tuntas. Kondisi ini menuntut hadirnya solusi terbaik sesegera mungkin, khususnya perbaikan dan pengembangan organisasi sekolah. ”Nah, menghadapi never ending crisis dunia pendidikan tersebut, maka perlu diinventarisasi faktor-faktor pemicu inefektifitas dalam perbaikan pengelolaan dan penyelenggaraan sekolah,” kata anggota Litbang PWNU Jatim ini
Menurut dia, ada tiga persoalan penting yang harus dicermati untuk menghadapi krisis di dunia pendidikan. Pertama, reformasi struktural pada tingkat sekolah belum diiringi dengan reformasi kultural dan kinerja akademik secara memadai. ”Misalnya meningkatnya tarif honor dan gaji belum diikuti peningkatan kinerja secara signifikan,” tegas Ketua Lakpesdam NU Jember ini.
Persoalan kedua, kata penulis sejumlah buku manajemen pendidikan ini, adalah belum tersedianya sumber daya manusia berkualitas yang berakibat tidak dipenuhinya tugas-tugas fungsional yang baik. Misalnya, pelaksanaan KTSP belum disokong kompetensi guru sebagai designer, planner, dan evaluator kurikulum secara profesional. ”Padahal saat masih sentralisasi, semua kurikulum yang merupakan produk studi para pakar di Pusat Kurikulum Depdiknas Jakarta, sangat berkualitas,” ujar Ketua IKA Al Bahi UIN Malang ini.
Masalah ketiga, sosialisasi kebijakan yang belum tuntas sering menghadirkan polemik di kalangan para pengelola sekolah. Contoh, peningkatan mutu pendidikan melalui penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) sekitar tahun 2000 tidak efektif. ”Hal ini disebabkan ketersediaan kerangka struktural yang tidak konsisten; tidak semua urusan dalam MBS dapat ditangani kepala sekolah sebagai top manager,” tegasnya.
Sebagai bagian dari upaya reformasi sekolah itu, pria yang pernah kunjungan pendidikan ke Malaysia dan Maroko ini menawarkan strategi teknostruktural untuk menciptakan efektivitas sekolah. Sekolah yang efektif, menurutnya, akan mampu menghasilkan prestasi murid yang tinggi, menghadirkan sikap murid yang lebih positif, mampu beradaptasi dengan lingkungan, dan sangat serius menangani problem internal.
Secara umum, terdapat dua varian penting ketika strategi teknostruktural digunakan untuk melakukan perubahan di sekolah, yang masing-masing digunakan sesuai sasaran perubahan yang ditangani. Pertama, strategi yang berupaya melakukan perubahan variabel struktural organisasi sekolah; dan kedua, strategi dengan cara menyesuaikan teknologi atau cara ke dalam program-program pendidikan untuk mengubah murid. ”Untuk ke depan, penggunaan strategi teknostruktural diharapkan bisa menciptakan efektivitas sekolah,” kata Fungsionaris Dewan Pendidikan Jember ini. (kun wazis)